tahun 90-an, tiga kali berturut-turut orang NU lebaran
duluan karena hilal dua derajat nyata-nyata sudah bisa dirukyah,
sementara Pemerintah-Muhammadiyah tidak menerima karena standar yang
dipakai adalah hilal tinggi dan harus ikmal atau istikmal. Ada lima
titik atau lebih tim rukyah gabungan menyatakan hilal terukyah, tapi
tidak diterima oleh Departemen Agama, meski pengadilan setempat sudah
menyumpah dan melaporkan ke Jakarta. Itulah perbedaan standar derajat
hilal antara Muhammadiyah dan NU. Masing-masing bertahan pada
pendiriannya.
Setelah pak Harto lengser dan Gus Dur menjadi
presiden, orang-orang Muhammadiyah berpikir cerdas dan tidak mau
dipermalukan di hadapan publiknya sendiri. Artinya...
jika masih pakai
standar hilal tinggi, sementara mereka tidak lagi menguasai pemeritahan,
pastilah akan lebaran belakangan terus. Dan itu berarti lagi-lagi kalah
start dan kalah cerdas. Maka segera mengubah mindset dan pola pikir
soal itsbat hilal. Mereka tampil radikal dan meninggalkan cara rukyah
berderajat tinggi. Tapi tak menerima hilal derajat, karena sama dengan
NU.
Lalu membuat metode “wujud al-hilal”. Artinya, pokoknya hilal
menurut ilmu hisab atau astronomi sudah muncul di atas ufuk,
seberapapun derajatnya, nol koma sekalipun, sudah dianggap hilal penuh
atau tanggal satu. Maka tak butuh rukyah-rukyahan seperti dulu, apalagi
tim rukyah yang diback up pemerintah. Hadits yang dulu dielu-elukan,
ayat al-Quran berisikan seruan “taat kepada Allah, RasulNya dan Ulil
Amri” dibuang dan alergi didengar. Lalu dicari-carikan dalil baru sesuai
dengan selera.
Populerkah metode “wujud al-hilal” dalam tradisi keilmuwan falak? Sama sekali tidak, baik ulama dulu maupun sekarang.
Di
sini, Muhammdiyah membuat beda lagi dengan NU. Kalau dulu, Muhammadiyah
hilal harus derajat tinggi untuk bisa dirukyah, hal mana pasti
melahirkan beda keputusan dengan NU, kini membuang derajat-derajatan
secara total dan tak perlu rukyah-rukyahan. Menukik lebih tajam, yang
penting hilal sudah muncul berapapun derajatnya. Sementara NU tetap pada
standar rukyah, meski derajat dua atau kurang sedikit. Tentu saja beda
lagi dengan NU. Maka, selamanya takkan bisa disatukan, karena sengaja
harus tampil beda. Dan itu sah-sah saja.
Dilihat dari fakta
sejarah, bisa dinilai bahwa sesungguhnya siapa yang sengaja
membuat beda, sengaja tidak mau dipersatukan, siapa sebenarnya biang persoalan di
kalangan umat?
Menyikapi lebaran dua versi, warga Muhammadiyah
pasti bisa tenang karena sudah biasa diombang-ambingkan dengan perubahan
pemikiran pimpinannya. Persoalannya, apakah sikap, ulah atau komentar
mereka bisa menenangkan orang lain?
Perkara dalil nash atau
logika, ilmu falak klasik atau neutik, rubu’ atau teropong modern
sama-sama punya. Justeru, bila dalil-dalil itu dicari-cari belakangan
dan dipaksakan, sungguh mudah sekali dipatahkan.
Hebatnya, semua
ilmuwan Muhammadiyah yang akademis dan katanya kritis-kritis itu bungkam
dan tunduk semua kepada keputusan Majlis Tarjih. Tidak ada yang
mengkritik, padahal kelemahan akademik pasti ada.
Idul Fitri dan Idul Adha sering terjadi perbedaan di Indonesia. Penyebab utama
BUKAN perbedaan metode hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan),
tetapi pada perbedaan kriterianya. Kalau mau lebih spesifik merujuk akar
masalah, sumber masalah utama adalah Muhammadiyah yang masih kukuh
menggunakan hisab wujudul hilal. Bila posisi bulan sudah positif di atas
ufuk,
tetapi ketinggiannya masih sekitar batas kriteria visibilitas
hilal (imkan rukyat, batas kemungkinan untuk diamati) atau lebih rendah
lagi, dapat dipastikan terjadi perbedaan. Perbedaan terakhir kita alami
pada Idul Fitri :
1-1327 H/2006 M
2. 1428 H/2007 H
3. Idul Adha
1431/2010.
4. Idul Fitri 1432/2011 juga hampir dipastikan terjadi
perbedaan.
Kalau kriteria Muhammadiyah tidak diubah, dapat dipastikan
awal Ramadhan 1433/2012, 1434/2013, dan 1435/2014 juga akan beda.
Masyarakat dibuat bingung, tetapi hanya disodori solusi sementara, “mari
kita saling menghormati”.
Adakah solusi permanennya?
jawab :
Ada, Muhammadiyah
bersama ormas-ormas Islam harus bersepakati untuk mengubah kriterianya.
Mengapa perbedaan itu pasti terjadi ketika bulan pada posisi yang sangat
rendah, tetapi sudah positif di atas ufuk?
jawab :
Kita ambil kasus penentuan
Idul Fitri 1432/2011.
Pada saat Maghrib 29 Ramadhan 1432/29 Agustus 2011
tinggi bulan di seluruh Indonesia hanya sekitar 2 derajat atau kurang,
tetapi sudah positif.
Perlu diketahui,
kemampuan hisab sudah dimiliki
semua ormas Islam secara merata, termasuk NU dan Persis, sehingga data
hisab seperti itu sudah diketahui umum. Dengan perangkat astronomi yang
mudah didapat, siapa pun kini bisa menghisabnya. Dengan posisi bulan
seperti itu,
Muhammadiyah sejak awal sudah mengumumkan Idul Fitri jatuh
pada 30 Agustus 2011 karena bulan (“hilal”) sudah wujud di atas ufuk
saat Maghrib 29 Agustus 2011.
Tetapi Ormas lain?
yang mengamalkan hisab
juga, yaitu:
Persis (Persatuan Islam), mengumumkan Idul Fitri jatuh pada
31 Agustus 2011 karena mendasarkan pada kriteria imkan rukyat
(kemungkinan untuk rukyat) yang pada saat Maghrib 29 Agustus 2011 bulan
masih terlalu rendah untuk bisa memunculkan hilal yang teramati.
NU yang
mendasarkan pada rukyat masih menunggu hasil rukyat. Tetapi, dalam
beberapa kejadian sebelumnya seperti 1427/2006 dan 1428/2007,
sedangkan laporan
kesaksian hilal pada saat bulan sangat rendah sering kali ditolak karena
tidak mungkin ada rukyat dan seringkali pengamat ternyata keliru
menunjukkan arah hilal.
Jadi,
selama Muhammadiyah masih bersikukuh dengan kriteria wujudul
hilalnya, kita selalu dihantui adanya perbedaan hari raya dan awal
Ramadhan.
Seperti apa sesungguhnya hisab wujudul hilal itu?
jawab:
Banyak
kalangan di intern Muhammadiyah mengagungkannya, seolah itu sebagai
simbol keunggulan hisab mereka yang mereka yakini, terutama ketika
dibandingkan dengan metode rukyat. Tentu saja mereka anggota fanatik
Muhammadiyah, tetapi sesungguhnya tidak paham ilmu hisab.
Kritik terhadap Teori Wujudul Hilal
dan Mathla’ Wilayatul Hukmi”.
1- wujudul hilal hanya ada
dalam teori, tidak mungkin bisa teramati.
2- teori/kriteria wujudul hilal tidak punya landasan kuat
dari segi syar’i dan astronomisnya. (Dari segi syar’i, tafsir yang
merujuk pada QS Yasin 39-40 terkesan dipaksakan)
3- Dari segi astronomi,
kriteria wujudul hilal adalah kriteria usang yang sudah lama
ditinggalkan di kalangan ahli falak.
Kita ketahui, bersama metode penentuan kalender yang paling kuno adalah hisab
urfi (yang kini digunakan oleh beberapa kelompok kecil di Sumatera Barat
dan Jawa Timur, yang hasilnya beda dengan metode hisab atau rukyat).
Lalu berkembang hisab imkan rukyat, tetapi masih menggunakan hisab
taqribi (pendekatan) yang akurasinya maish rendah.
Muhammadiyah pun
sempat menggunakannya pada awal sejarahnya. Kemudian untuk menghindari
kerumitan imkan rukyat, digunakan hisab ijtimak qablal ghurub (konjungsi
sebelum matahari terbenam) dan hisab wujudul hilal (hilal wujud di atas
ufuk yang ditandai bulan terbenam lebih lambat daripada matahari). Kini
kriteria wujudul hilal mulai ditinggalkan, kecuali oleh beberapa
kelompok atau negara yang masih kekurangan ahli hisabnya, seperti oleh
Arab Saudi untuk kalender Ummul Quro-nya. Kini para pembuat kalender
cenderung menggunakan kriteria imkan rukyat karena bisa dibandingkan
dengan hasil rukyat. Perhitungan imkan rukyat sudah sangat mudah
dilakukan, terbantu dengan perkembangan perangkat lunak astronomi.
Informasi imkanrur rukyat atau visibilitas hilal juga sangat mudah
diakses secara online di internet.
Muhammadiyah yang tampaknya terlalu ketat menjauhi rukyat terjebak pada
kejumudan (kebekuan pemikiran) dalam ilmu falak atau astronomi terkait
penentuan sistem kalendernya. Mereka cukup puas dengan wujudul hilal,
kriteria lama yang secara astronomi dapat dianggap usang. Mereka
mematikan tajdid (pembaharuan) yang sebenarnya menjadi nama lembaga
think tank mereka, Majelis Tarjih dan Tajdid.
Sayang sekali. Sementara
ormas Islam lain terus berubah. NU yang pada awalnya cenderung melarang
rukyat dengan alat, termasuk kacamata, kini sudah melengkapi diri dengan
perangkat lunak astronomi dan teleskop canggih. Mungkin jumlah ahli
hisab di NU jauh lebih banyak daripada di Muhammadiyah, walau mereka
pengamat rukyat.
Sementara Persis (Persatuan Islam), ormas “kecil” yang
sangat aktif dengan Dewan Hisab Rukyat-nya berani beberapa kali mengubah
kriteria hisabnya. Padahal, Persis kadang mengidentikkan sebagai
“saudara kembar” Muhammadiyah karena memang mengandalkan hisab, tanpa
menunggu hasil rukyat. Persis beberapa kali mengubah kriterianya, dari
ijtimak qablal ghrub, imkan rukyat 2 derajat, wujudul hilal di seluruh
wilayah Indonesia, sampai imkan rukyat astronomis yang diterapkan.
Lalu
mau ke mana Muhammadiyah?
jawab:
Kita berharap Muhammadiyah, sebagai ormas
besar yang modern, mau berubah demi penyatuan Ummat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar