Soal 4
Sebagian orang ada yang berpuasa lebih dulu karena mengikuti
penetapan puasa Negara lain, dan ada pula karena mengikuti penetapan
sebuah Ormas keagamaan. Apakah tindakan orang tersebut dibenarkan dalam
pandangan agama?
Jawab:
Tindakan orang tersebut tidak dapat dibenarkan, berdasarkan dalil-dalil berikut ini. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ. (النساء : 59).
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. al-Nisa’ : 59).
Ayat
di atas menegaskan, bahwa umat Islam wajib taat kepada Allah, taat
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kepada ulil amri atau
pemerintah. Kewajiban taat kepada pemerintah, termasuk dalam penentuan
awal puasa dan hari raya. Dalam kitab-kitab tafsir diterangkan:
قَالَ
سَهْلٌ بْنُ عَبْدِ اللهِ التُّسْتَرِيُّ : أَطِيْعُوا السُّلْطَانَ فِيْ
سَبْعَةٍ : ضَرْبِ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيْرِ وَالْمَكَايِيْلِ
وَاْلأَوْزَانِ وَاْلأَحْكَامِ وَالْحَجِّ وَالْجُمْعَةِ وَالْعِيْدَيْنِ
وَالْجِهَادِ.
“Sahal bin Abdullah al-Tustari berkata: “Taatlah
kalian kepada penguasa dalam tujuh perkara; 1) pembuatan mata uang
dirham dan dinar, 2) takaran dan timbangan, 3) penetapan hukum-hukum, 4)
haji, 5) Jum’at, 6) dua hari raya dan 7) jihad”. (Al-Qurthubi, al-Jami’
li-Ahkam al-Qur’an, juz 5 hlm 167; dan Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhith,
juz 3 hlm 290).
Keharusan mengikuti pemerintah dalam hal penentuan waktu ibadah, juga diperkuat oleh hadits-hadits berikut ini:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَة عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ
قَالَ: صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ
وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ. أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَابْنُ مَاجَه
وَالتِّرْمِذِي وَصَحَّحَهُ
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Puasa kalian adalah hari kalian semua
berpuasa. Idul fitri kalian, hari kalian beridul fitri. Idul adha
kalian, hari kalian berkurban.” (HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi dan
menilainya shahih, dan Ibnu Majah).
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ الهِa صَلَّى الهُe عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: الْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ
يُضَحِّي النَّاسُ: رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ .
Aisyah radhiyallahu
‘anha berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Idul
fitri adalah ketika orang-orang beridul fitri. Idul adha adalah ketika
orang-orang berkurban.” (HR. al-Tirmidzi [802]).
Dua hadist di atas menunjukkan pada dua hal:
Pertama, bahwa penentuan hari rayaIdul Fitrhi dan Idul Adha adalah wewenang pemerintah, bukan ormas atau yayasan.
Kedua,
bahwa berpuasa dan berhari raya hendaknya bersama mayoritas masyarakat
disekitarnya, tidak boleh menyelisihi mereka dengan sholat dan ibadah
sendiri. Demikian ini diperkuat dengan atsar berikut ini:
وَقَدْ
رُوِيَ أَنَّ رَجُلَيْنِ فِي زَمَنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ رَأَيَا هِلالَ شَوَّالٍ فَأَفْطَرَ أَحَدُهُمَا وَلَمْ يُفْطِرْ
الآخَرُ. فَلَمَّا بَلَغَ ذَلِكَ عُمَرَ قَالَ لِلَّذِي أَفْطَرَ : لَوْلا
صَاحِبُك لأَوْجَعْتُك ضَرْبًا.
Telah diriwayatkan bahwa dua orang
laki-laki pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu
melihat bulan Syawal. Lalu salah satunya berbuka, sedangkan yang satunya
tidak berbuka. Lalu hal itu sampai kepada Umar, maka Umar berkata
kepada orang yang berbuka itu: “Seandainya bukan karena temanmu, pasti
aku memukulmu hingga kesakitan.” (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, juz juz 25
hlm 204).
Dalam atsar di atas, Khalifah Umar bin al-Khattab
menegur orang yang memulai Idul Fithri secara sendiri-sendiri tanpa
koordinasi dengan pemerintah. Hal itu menunjukkan bahwa untuk mengawali
Idul Fithri atau puasa hendaknya menunggu keputusan pemerintah, bukan
memutuskan sendiri-sendiri, meskipun ia telah melihat bulan Syawal.
Ahlussunnah
Wal-Jama’ah selalu mengajak pada kebersamaan dan kerukunan dengan
sesama Muslim, dan mentaati pemerintah, meskipun pemerintahan yang
sewenang-wenang. Melakukan perlawanan terhadap pemerintah yang
memerintah dengan sewenang-wenang, termasuk tanda-tanda ahli bid’ah kaum
Mu’tazilah dan Khawarij. Dalam kitab-kitab akidah diterangkan:
وَفِي
التَّمْهِيْدِ لاِبْنِ عَبْدِ الْبَرِّ: ذَهَبَتْ طَائِفَةٌ مِنَ
الْمُعْتَزِلَةِ وَعَامَّةِ الْخَوَارِجِ إِلىَ جَوَازِ مُنَازَعَةِ
اْلإِمَامِ الْجَائِرِ
Dalam kitab al-Tamhid karya Ibnu Abdil
Barr: “Sekelompok dari Mu’tazilah dan mayoritas Khawarij berpendapat,
bolehnya melakukan perlawanan terhadap pemerintah yang sewenang-wenang.”
(Al-Imam Ibrahim al-Laqani, Hidayah al-Murid li-Jauharah al-Tauhid, hlm
450).
KESIMPULAN:
1. Tindakan orang tersebut tidak dapat dibenarkan, berdasarkan dalil-dalil
2. Tidak ada dalil yang sohih maupun contoh dari rosululloh di perintahkan hari raya/puasa mengikuti ormas/negara.
simak selangkapnya di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar